Imron Supriyadi Kerbau Desa Peralihan Kerbau di Desa Peralihan sama saja dengan kerbau-kerbau lainnya. Yang berbeda adalah kerbau itu tinggal di Dusun Peralihan, di kawasan di pinggir selat Sunda. Tentang kapan kerbau sampai di Desa Peralihan tak ada yang tahu persis. Ada yang bilang, kerbau Desa Peralihan asalnya dari negeri Belanda, dibawa Asisten Wedana asal Belanda waktu jaman penjajahan dulu. Namun ada juga pendapat yang yakin kerbau Desa Peralihan datang dari tempat yang tidak diketahui entah dimana, lalu dijadikan tumbal, sebagai sesaji pencegah banjir. Menurut mereka, yang yakin tadi, banjir yang menimpa Desa Peralihan adalah simbol kemarahan Dewa. Jadi sejak itu seekor kerbau itu berhasil menghentikan banjir, maka kerbau dipercaya sebagai dewa penolong. Warga pun menyembah-nyembah kerbau. Kalau kerbau berak, orang segera berbondong-bondong berebut memunguti tainya, dan menyimpan di dalam lemari es. Besok paginya, tai dingin itu dijadikan sesuhunan, sebagaimana mereka menyembah Tuhan. Tapi paska kemerdekaan, ada larangan memelihara kerbau dari lurah baru, anak sulung dari lurah lama, cucu dari lurah yang lebih lama. "Sejak hari ini saya melarang dengan keras pemeliharaan kerbau. Kerbau adalah binatang yang susah diajak kompromi. Binatang ini, tidak mengetahui tempat yang bersih karena mandinya sajapun pakai lumpur. Kalau kerbau terus dipelihara, jelas akan merusak citra Desa Peralihan di Kabupaten Sukamenang", begitulah instruksi Lurah Desa Peralihan di hadapan ribuan warga yang berdesak-desakan di Balai Desa. "Sekarang yang mesti kita pelihara adalah upaya melestarikan lingkungan hijau. Oleh sebab itu saya minta semua warga Desa Peralihan segera mengganti kerbau dengan tanaman. Nah, supaya tidak simpang siur dan kacau balau, kita putuskan memelihara Pohon Wuringin," sambung Lurah Desa Peralihan semakin mantap. Ia goyangkan sedikit pecinya pakai kedua tangan, dan meneruskan pidato dengan sejarah Pohon Wuringin. "Pohon Wuringin menurut nenek moyang kita bisa membawa berkah di kemudian hari. Dulu sebelum kita lahir, pohon ini merupakan sesembahan para leluhur. Oleh sebab itu jika tidak memelihara pohon ini sama saja dengan membunuh warisan leluhur," jelas Lurah Desa Peralihan, seperti pakar sejarah dadakan. Instruksi ini menimbulkan protes warga. Kelompok pertama menentang larangan pemeliharaan kerbau. "Ini tidak bisa diterima. Larangan Lurah jelas melanggar hak asasi pemeliharaan binatang," kata seorang warga. Sedang kelompok kedua sebenarnya setuju dengan larangan kerbau, dan masuk jugalah ke dalam kelompok ini orang-orang yang tidak perduli dengan larangan kerbau tapi tak setuju dengan tanaman tunggal Pohon Wuringin. "Sesembahan kita selama ini bukan hanya Pohon Wuringin saja. Ini jelas melanggar kebebasan untuk memeluk agama atau kepercayaan." Ada juga kelompok ketiga, yang jumlahnya paling sedikit. Mereka tidak perduli larangan kerbau dan juga tidak perduli Pohon Wuringin, tapi menentang segala bentuk perintah pemerintah. "Ini otokratis, dan jelas tidak bisa kita diamkan." Esoknya seorang pegiat kelompok ketiga mengumpulkan warga Desa Peralihan di pinggir sungai. "Pelarangan ini, jelas bentuk penindasan baru. Kita tidak bisa menerima begitu saja perintah Lurah . Kita harus melawannya", kata pegiat itu di hadapan sekitar seratus tujuh puluh warga dari segala kelompok yang memprotes instruksi lurah. Tapi muncul persoalan baru. Tidak semua yang protes berani terus terang. Warga Desa Peralihan makin terpecah-pecah lagi. Masing-masing kelompok terpilah-pilah menjadi dua sub kelompok. Di satu pihak adalah mereka yang takut sama ancaman Lurah, dan mereka pun berbondong-bondong menjual kerbau ke pasar dan membeli Pohon Wuringin di koperasi, yang dikelola keponakan Lurah Desa. Tetapi bagi warga yang berani protes --walau ada yang sebelumnya sama sekali tidak suka kerbau-- mereka tetap memelihara kerbau. Bagaimanapun lima tahun kemudian, Lurah Desa Peralihan yang menang. Para warga yang protes, entah dari kelompok yang manapun, kalah total karena Lurah Desa memotong putus jalur-jalur pendukung pemeliharaan kerbau. Semua kubangan lumpur di Desa Peralihan ditimbun dengan kerikil, lantas padang-padang rumput dijaga Hansip Desa sepanjang dua puluh empat jam, dan tai kerbau langsung diamankan petugas kebersihan desa sehingga tidak sempat diambil dan disimpan di dalam lemari es. Memelihara kerbau jadi sulit, juga tak ada insentifnya. Di malam hari upaya yang lebih tegas untuk mensukseskan penghentian pemeliharaan kerbau dilakukan Barisan Pemuda Peralihan, yang dipimpin adik bungsu Lurah Desa. Setiap malam anggota Barisan Pemuda Peralihan, dengan badge Pohon Wuringin di sebelah dada bagian kiri jaket hitamnya, berkeliling desa untuk razia kerbau. Pernah dalam satu malam enam belas orang pendukung pemeliharaan kerbau diciduk Barisan Pemuda Peralihan. Dua hari kemudian sembilan orang sudah kembali ke rumahnya dan langsung menjual kerbaunya, lantas tiga orang pindah ke desa tetangga, yang tidak perduli warganya mau memelihara kerbau, kucing, kelinci ataupun menanam Pohon Sawo, Durian atau Akasia. Satu orang, yaitu pegiat yang dulu sempat mengumpulkan para warga di tepi sungai, diajukan ke pengadilan karena waktu diambil Barisan Pemuda Peralihan ditemukan ada buku Madilog karangan Tan Malaka di balik bantalnya. Sedang sisa tiga lainnya tak ketahuan nasibnya. Ada yang bilang mereka pindah ke kabupaten lain, tapi ada juga kabar-kabar kalau mereka sudah dihabisi Barisan Pemuda Peralihan. Kerbau memang benar-benar berhasil dilibas Lurah Desa Peralihan. Pelan-pelan kerbau hilang dari Desa Peralihan. Di sisi lain Pohon Wuringin mendapat dukungan luar biasa. Lurah Desa Peralihan mendirikan layanan pemotongan ranting, jadi warga tinggal melaporkan ke Balai Desa kalau ranting Pohon Wuringinnya sudah terlalu melebar kemana-mana. Pupuk urea dibagikan secara gratis tanpa batasan. Juga ada kompetisi Pohon Wuringin setiap tahun dan pemenangnya mendapat piala miniatur Pohon Wuringin yang terbuat dari tembaga. Bahkan setiap pidato Lurah Desa Peralihan selalu dimulai dan diakhiri dengan 'Suburlah Pohon Wuringin, Suburlah Desa Peralihan.'' Dan dalam setiap acara apapun, baik rapat umum di Balai Desa, pidato kelompok PKK, maupun membuka pertandingan tarik tambang di lapangan sepakbola, Lurah Desa Peralihan selalu mengumbar senyum kemenangan. Ia merasa menjadi orang yang paling berhasil merubah kepercayaan Desa Peralihan. Kerbau yang sebelumnya menjadi sesembahan warga Desa Peralihan sudah menjadi sejarah. Semakin banyak saja orang yang mengagung-agungkan Pohon Wuringin. Dukungan Lurah Desa Peralihan makin bertambah. Sudah tiga kali Lurah Desa Peralihan mendapat piagam penghargaan sebagai pemimpin teladan. Namun memasuki tahun ketujuh, kekuasaan Lurah Desa Peralihan mulai tergerogoti. Krisis keuangan pelan-pelan menohok kas Desa Peralihan dan Lurah tak bisa lagi meneruskan kebijakan pembagian pupuk tanpa batas, sementara larangan pemotongan ranting sudah dihapuskan, dan piala tahunan ditiadakan. Pohon Wuringin mulai gangguan karena daunnya, yang sudah tidak disapu oleh dinas kebersihan desa, menutupi semua jalanan desa. Menantu Lurah Desa pernah pula terpleset karena menginjak daun Wuringin yang basah dan dirawat di Rumah Sakit sampai satu minggu lebih karena geger otak. Pohon Wuringin pelan-pelan menggeser jadi bencana. Pada saat bersamaan tak ada lagi kiriman batu kerikil sehingga kubangan mulai muncul, dan hansip desa tidak bisa lagi menjaga padang rumput sampai dua puluh empat jam karena tidak dapat uang kopi tambahan. Kerbau-kerbau dari desa tetangga yang awalnya meraja-rela di padang-padang rumput Desa Peralihan, dan karena kerbau itu berak dimana-mana, mulailah ada orang yang mengumpulkan tainya untuk disimpan di lemari es, dan dijadikan sesuhunan. Mula-mula secara kecil-kecilan dan belakangan terang-terangan. Karena insentif tai kerbau berkembang lagi, maka orang Desa Peralihan kembali bersemangat memelihara kerbau. Harga kerbau sempat meningkat satu setengah kali lipat selama satu bulan sebelum pemerintah kabupaten mengirimkan stok khusus ke Desa Peralihan untuk mengendalikan harga kerbau di tingkat kabupaten. Lurah Desa yang sempat tak perduli sama perdagangan kerbau akhirnya keluar juga dari kantornya untuk menerima kiriman kerbau dari Bupati. "Saudara-saudara, saya tidak suka kerbau tapi kalau aspirasi rakyat memang kerbau, saya siap mendukung sepenuhnya,'' kata Lurah Desa Peralihan. Dia goyangkan pecinya pakai tangan kirinya dan dia lanjutkan dengan pidato tentang ramalan banjir dan kerbau. "Dinas Metereologi minggu lalu menyerahkan prakiraan banjir badang yang datang setiap delapan tahun sekali. Kita harus bersiap-siap menghadapinya, dan diperkirakan bulan depan musim hujan mulai turun," jelasnya mantap. Dihitungnya kerbau kiriman Bupati, dan ditanda-tanganinya tanda terima. "Lima ratus ekor. Komisi satu ekor dua ratus ribu perak... sudah cukuplah untuk ganti mobil baru,'' gumamnya sambil berbalik masuk ke kantor. Kerbau Desa Peralihan sama saja dengan kerbau-kerbau lainnya. Lurah Desa Peralihan juga sama dengan lurah-lurah lainnya. Tetapi, kerbau tetap saja kerbau, lurah tetap saja lurah. Keduanya tak bisa berbuat banyak. Hanya sekedar simbol keagungan yang di-sembah-sembah. Dan ketika warga Desa Peralihan terhempas dengan masa paceklik, kerbau --dan juga lurah-- tak dapat berbuat apa-apa, kecuali hanya mengoek layaknya kerbau yang ada di kandang. Orang-orang pun kembali mengingat masa kejayaan Lurah Desa Peralihan. Kerbau tetap saja Kerbau. Di Desa Peralihan, sepertinya kerbau apapun --termasuk kerbau wasiat yang dulu katanya pernah menangkal banjir-- tidak bisa berbuat banyak. Sementara Pohon Wuringin yang mulai musnah menjalar kembali ke perut bumi, namun setiap waktu akan bersemi kembali. Dan kebesaran tak banyak bisa berbuat. Sebab kewibawaan atau kharisma kerbau --dan lurah-- cuma warisan nenek moyang. Demang L. Daun, Palembang, 1999-2002